Sebagai perkampungan yang tergolong lebih maju dibandingkan dengan kampung lainnya di Lampung Tengah waktu itu, penamaan Kampung ‘TERBANGGI BESAR’ memiliki cerita tersendiri. Menurut riwayat rakyat, pada penghujung abad ke 18 tersebutlah di sebuah kampung tentang seorang tua yang dianggap tokoh setempat yang memiliki ilmu kedikjayaan tinggi. Banyak orang sering melihatnya terbang berkelebat diatas masjid yang terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Kakek ini berjenggot putih ubanan dan berperawakan tinggi besar.
Di kampung itu, si kakek sangat disegani. Kesalehannya kesohor hingga terdengar ke luar kampung. Dalam beberapa kesempatan, beliau kerap terlibat pada acara keagamaan. Lalu ia dikenal sebagai sosok tokoh agama setempat. Dia selalu disebut-sebut dalam mimbar pertemuan. Masyarakat di sini cukup kental dengan kehidupan keagamaannya, sebagaimana suku Lampung lainnya yang sebagian besar memeluk agama Islam. Setiap datang waktu sholat, masjid sesak dengan jemaah.
Sejak itulah masyarakat mentokohkannya sebagai ikon dan di anggap sebagai cikal bakal lahirnya nama Kampung Terbanggi Besar, yang berasal dari kata: Terbang; Tinggi; Besar. Secara spontan penduduk mengusulkan menyingkatnya menjadi nama Terbanggi Besar. Itu dilakukan, agar nilai “kebesaran” dan “ketinggian” sang tokoh bisa membekas di lingkungan masyarakat.
Memang tak ada yang berani memastikan kebenaran cerita tersebut. Tapi, tidak ada pula tokoh masyarakat setempat yang membantah cerita rakyat yang sudah turun temurun dari mulut ke mulut penghuni Kampung Terbanggi Besar. Yang jelas, sejarah mencatat jiwa masyarakat kampung ini persis dengan akronim yang disebutkan; tinggi dan besar.
Itulah Kampung Terbanggi Besar, salah satu dari kesekian banyak nama kampung yang ada di Lampung Tengah.
Sabtu, 13 Maret 2010
लम्पुंग TENGAH
Penduduk asli Lampung Tengah di angkat dari adat kemargaan “Abung Siwo Mego” dan “Pubian Telu Suku”, yaitu kebuaian/jurai yang berasal dari 9 (sembilan) keturunan. Kesembilan jurai (bahasa daerah= jurai siwo) itu terdiri dari Anak Tuha, Nuban, Nunyai, Unyi, Subing, Kunang, Selagai, Beliuk dan Nyerupa. Sembilan kebuaian penduduk asli ini dilingkungan setempat masing-masing mendiami sejumlah tempat di Kabupaten Lampung Tengah. Hal ini dengan ditandai adanya perkampungan masyarakat pribumi, bahasa daerah yang dipergunakan serta kultur daerah yang dimiliki oleh penduduk suku asli.
Didalam Kitab “Kuntara Raja Niti”, yakni kitab adat istiadat orang Lampung yang hingga kini masih dapat ditemukan dan di baca, baik dalam bentuk aksara asli maupun yang telah di tulis dalam aksara latin, walaupun isinya sudah banyak dipengaruhi agama Islam yang masuk dari Banten, dikatakan sebagai berikut:
Siji turunan Batin tilu suku tuha lagi lewek djak Pagaruyung Menangkabau pina turun satu putrid kajangan, dikawinkan jama Kun Tunggal, ja ngada Ruh Tunggal ja ngakon tunggal ja ngadakan umpu sai tungau umpu sai tungau ngadakan umpu serunting umpu sai runting pendah disekala berak ja budiri ratu pumanggilan, Ratu pumanggilan (umpu si Runting nganak lima muari;
1. Sai tuha Indor Gadjah turun abung siwa miga,
2. Si Belunguh turunan peminggir,
3. Si Pa’lang nurunkan pubijan tilu suku,
4. Si Pandan ilang,
5. Si Sangkan wat di suka ham.
Dengan demikian, menurut Kuntara Raja Niti, orang Lampung (suku Pubian, Abung, Peminggir, dan lain-lain) berasal dari Pagaruyung, keturunan putri Kayangan dan Kua Tunggal. Lalu setelah kerabat mereka berdiam di Skala Brak, maka di masa cucunya, Umpu Serunting, mereka mendirikan Keratuan Pemanggilan. Umpu Serunting selanjutnya menurunkan lima orang anak laki-laki. Mereka adalah Indra Gajah atau ada pula yang menyebutnya Inder Gajah, yang menurunkan orang Abung, Bulunguh menurunkan orang Peminggir, Pa’lang menurunkan orang Pubian, Pandan dikatakan menghilang dan Sangkan dikatakan berada di Suka ham (?). Suka ham, diyakini nama sebuah tempat bernama Sukadanaham yang sekarang berada di Kabupaten Tanggamus.
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kuntara Raja Niti, karena orang-orang Bajau (perompak laut) datang menyerang, maka Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan warganya beralih tempat meninggalkan Skala Brak menuju ke daerah dataran rendah Lampung sekarang. Keturunan Indra Gajah kemudian menetap di Ulok Tigou Ngawan di Canguk Gatcak dihulu Way Abung (Kecamatan Tanjungraja, Lampung Utara), dibawah pimpinan Minak Rio Bededuh, mereka mendirikan Keratuan di Puncak. Diperkirakan di masa Minak Bededuh armada Majapahit singgah di pantai timur, yaitu di daerah kekuasaan Keratuan Pugung yang berada di Kecamatan Labuhan Meringgai sekarang (sekitar tahun 1365) namun tidak sampai masuk ke pedalaman.
Semasa kekuasaan putra Minak Rio Bededuh bernama Minak Paduka Bededuh, daerah Abung diserang lagi oleh perompak laut yang mengakibatkan tewasnya Minak Paduka Bededuh. Hal itu menyebabkan keempat anaknya mengadakan pertahanan. Keempat anak Minak Paduka Bededuh ini masing-masing bernama Nunyai (Minak Trio Disou) yang membuat pertahanan disepanjang Way Abung dan Way Rarem. Unyi (Minak Ratu di Bumi) membuat pertahanan disepanjang Way Seputih. Nuban (wanita) dengan suaminya membuat pertahanan disepanjang Way Batanghari dan Subing membuat pertahanan disepanjang Way Terusan. Menurut cerita turun temurun yang di dengar, Subing berhasil menebus kehormatan ayahnya Minak Paduka Bededuh yang telah wafat dengan membunuh kepala perompak bernama Raja di Laut.
Agama Islam diperkirakan masuk ke daerah Lampung sekitar abad ke 15 masehi melalui tiga arah angin. Pertama, dari barat (Minangkabau), memasuki daratan tinggi Belalau. Kedua, dari daerah utara (Palembang), memasuki daerah Komering pada permulaan abad ke 15 atau setidak-tidaknya di masa Adipati Arya Damar (1443) di Palembang. Ketiga, dari Banten oleh Fatahillah Sunan Gunung Jati, memasuki daerah Labuhan Meringgai sekarang, yaitu di Kerajaan Pugung sekitar tahun 1525 sebelum direbutnya Sunda Kelapa (1526). Dari perkawinan Fatahillah dengan Putri Sinar Alam anak Ratu Pugung, lahirlah Minak Kejala Ratu yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih yang menurunkan Raden Intan.
Setelah Nunyai wafat, terjadilah perselisihan pendapat antara anak cucu Minak Paduka Bededuh. Selisih paham berlangsung pelik, sehingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti kekuasaan Banten. Kenyataan ini dapat dihubungkan dengan peperangan antara Banten dan Palembang yang terjadi tahun 1596, dimana Maulana Muhammad dari Banten gugur dalam peperangan tersebut.
Yang berangkat seba ke Banten dari masyarakat Abung adalah Minak Semelesem, cucu dari Unyi (Minak ratu dibumi). Ketika seba, dia memang sudah tua, oleh karenanya pendirian Pepadun baru dilaksanakan oleh putranya, Minak Paduka, bertempat dihilir Way Kunang, yaitu di Bujang Penagan. Menurut perkiraan, adat Pepadun Abung ini dibentuk sekitar abad ke 17 masehi, setidak-tidaknya sebelum berlangsungnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Dibentuknya adat pepadun itu berarti melaksanakan penerimaan ajaran Islam di dalam masyarakat dan meninggalkan adat istiadat lama yang serba bersifat Hindu-Animisme.
Karena kelemahan pemerintahan Banten semenjak masa kekuasaan Sultan Haji (1672-1687), dimana VOC diizinkan untuk membeli lada langsung dari para penyimbang kepala-kepala marga Lampung serta sifat da’wah Islam yang berjalan lemah di daerah pedalaman, maka dalam pelaksanaan adat Pepadun sejak abad ke 18 dan seterusnya masih banyak dipertahankan tata cara dari zaman leluhurnya. Orang-orang VOC tidak mempunyai perhatian terhadap masyarakat dan adat istiadat penduduk, sebab yang penting bagi mereka hanyalah bagaimana mendapatkan hasil-hasil lada rakyat.
Demikianlah kisah sejumlah kebuaian yang ada di Lampung Tengah. Nunyai, Unyi, Nuban dan Subing adalah anak dari Minak Paduka Bededuh yang sekarang disebut-sebut juga sebagai cukal bakal keturunan penduduk asli di Lampung Tengah.
Mengenai Kabupaten Lampung Tengah, bila di runut dari sejarah memiliki perjalanan yang cukup panjang. Kenyataan itu berkaitan dengan Provinsi Lampung secara umum. Pada tanggal 21 Juni 1857 pemerintah Hindia Belanda menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada susunan pemerintahan setempat, dengan ditandai diakuinya sistem kemasyarakatan marga dibawah pimpinan penyimbang-penyimbang masing-masing tempat. Hingga sampai dengan tahun 1917 keresidenan Lampung di bagi oleh Pemerintahan Hindia Belanda dalam 2 (dua) Afdeling. Kedua Afdeling itu masing-masing: (1) Afdeling Teluk Betung, terdiri dari: Onder Afdeling Teluk Betung, Onder Afdeling Semangka, Onder Afdeling Katimbang. (2) Afdeling Seputih Tulang Bawang, terdiri dari: Onder Afdeling Tulang Bawang, Onder Afdeling Seputih dan Onder Afdeling Sekampung.
Pada tahun 1927 berdasarkan Bestuurshervormingswet 1922 (ind. Stb. 1922 no. 216) maka lahirlah “Marga Reglement Voor de Lampongsche Districten” yang mana Bestuursshervormingswet itu dimaksudkan untuk mengatur sistem pemerintahan marga teritorial yang telah ditetapkan dengan memperhatikan unsur-unsur genealogisch traditioneel. Antara tahun 1938-1939 ditetapkanlah Peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten (IGOBG) (stb. 1938 no. 490). Untuk melaksanakan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten ini dengan besluit Resident Lampong maka pada tanggal 21 Juli 1939 no. 536 ditetapkan Marga Reglement.
Semasa penjajahan kolonial Belanda, wilayah Kabupaten Lampung Tengah sekarang merupakan bagian dari Onder Afdeling Sukadana, Keresidenan Lampung (Residentie Lampongshe Districten). Pemerintahan Onder Afdeling ini dikepalai oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, Controleur tersebut di bantu oleh seorang Demang bangsa pribumi yang melaksanakan kepemerintahan bertugas dikedemangan.
Onder Afdeling Sukadana terbagi atas 3 (tiga) distrik, yaitu:
1. Onder Distrik Sukadana
2. Onder Distrik Labuhan Maringgai
3. Onder Distrik Gunung Sugih
Masing-masing onder distrik dalam menyelenggarakan pemerintahan dikepalai oleh seorang asisten demang (demang assistant) yang didalam pemerintahan bertugas sebagai pembantu demang untuk mengkoordinir pesirah. Pesirah adalah kepala pemerintahan marga yang mengepalai sejumlah kampung/desa/dusun yang ada didalam marga bersangkutan. Kepala marga ini diangkat dari seorang pribumi dengan membawahi kampung-kampung dikemargaannya.
Pemerintahan marga pada waktu itu bukan hanya diterapkan di Lampung saja, tapi juga di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, yang berdiri tahun 1572 dengan rajanya yang pertama bernama Ki Gede Ing Sura dan mulai surut karena dihapus kolonial Belanda tahun 1825 dengan rajanya yang terakhir bernama Sultan Mahmud Badarudin juga menerapkan pemerintahan marga. Hanya saja di sini untuk penamaan kampung dinamakan dusun. Kepala marga bergelar depati/pesirah, kepala dusun bergelar keria dan kepala kampung bergelar penggawa (bahasa daerah: penggawo). Banyaknya jumlah penggawa tergantung dari jumlah kampung yang ada didalam sebuah marga.
Onder Afdeling Sukadana yang merupakan bagian dari Keresidenan Lampung, di Provinsi Sumatera Bagian Selatan kala itu terbagi ke dalam 3 (tiga) onder district. Ketiga onder district tersebut dikepalai asisten demang. Diketahui, Onder Distrik Sukadana, Onder Distrik Labuhan Maringgai dan Onder Distrik Gunung Sugih masing-masing memiliki marga.
1. Onder Distrik Sukadana, terdiri dari:
1.1. Marga Sukadana
1.2. Marga Tiga
1.3. Marga Nuban
1.4. Marga Unyai Way Seputih
2. Onder Distrik Labuhan Maringgai, terdiri dari:
2.1. Marga Melinting
2.2. Marga Sekampung Ilir
2.3. Marga Sekampung Udik
2.4. Marga Subing Labuhan
3. Onder Distrik Gunung Sugih, terdiri dari:
3.1. Marga Unyi
3.2. Marga Subing
3.3. Marga Anak Tuha
3.4. Marga Pubian
Didalam Kitab “Kuntara Raja Niti”, yakni kitab adat istiadat orang Lampung yang hingga kini masih dapat ditemukan dan di baca, baik dalam bentuk aksara asli maupun yang telah di tulis dalam aksara latin, walaupun isinya sudah banyak dipengaruhi agama Islam yang masuk dari Banten, dikatakan sebagai berikut:
Siji turunan Batin tilu suku tuha lagi lewek djak Pagaruyung Menangkabau pina turun satu putrid kajangan, dikawinkan jama Kun Tunggal, ja ngada Ruh Tunggal ja ngakon tunggal ja ngadakan umpu sai tungau umpu sai tungau ngadakan umpu serunting umpu sai runting pendah disekala berak ja budiri ratu pumanggilan, Ratu pumanggilan (umpu si Runting nganak lima muari;
1. Sai tuha Indor Gadjah turun abung siwa miga,
2. Si Belunguh turunan peminggir,
3. Si Pa’lang nurunkan pubijan tilu suku,
4. Si Pandan ilang,
5. Si Sangkan wat di suka ham.
Dengan demikian, menurut Kuntara Raja Niti, orang Lampung (suku Pubian, Abung, Peminggir, dan lain-lain) berasal dari Pagaruyung, keturunan putri Kayangan dan Kua Tunggal. Lalu setelah kerabat mereka berdiam di Skala Brak, maka di masa cucunya, Umpu Serunting, mereka mendirikan Keratuan Pemanggilan. Umpu Serunting selanjutnya menurunkan lima orang anak laki-laki. Mereka adalah Indra Gajah atau ada pula yang menyebutnya Inder Gajah, yang menurunkan orang Abung, Bulunguh menurunkan orang Peminggir, Pa’lang menurunkan orang Pubian, Pandan dikatakan menghilang dan Sangkan dikatakan berada di Suka ham (?). Suka ham, diyakini nama sebuah tempat bernama Sukadanaham yang sekarang berada di Kabupaten Tanggamus.
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kuntara Raja Niti, karena orang-orang Bajau (perompak laut) datang menyerang, maka Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan warganya beralih tempat meninggalkan Skala Brak menuju ke daerah dataran rendah Lampung sekarang. Keturunan Indra Gajah kemudian menetap di Ulok Tigou Ngawan di Canguk Gatcak dihulu Way Abung (Kecamatan Tanjungraja, Lampung Utara), dibawah pimpinan Minak Rio Bededuh, mereka mendirikan Keratuan di Puncak. Diperkirakan di masa Minak Bededuh armada Majapahit singgah di pantai timur, yaitu di daerah kekuasaan Keratuan Pugung yang berada di Kecamatan Labuhan Meringgai sekarang (sekitar tahun 1365) namun tidak sampai masuk ke pedalaman.
Semasa kekuasaan putra Minak Rio Bededuh bernama Minak Paduka Bededuh, daerah Abung diserang lagi oleh perompak laut yang mengakibatkan tewasnya Minak Paduka Bededuh. Hal itu menyebabkan keempat anaknya mengadakan pertahanan. Keempat anak Minak Paduka Bededuh ini masing-masing bernama Nunyai (Minak Trio Disou) yang membuat pertahanan disepanjang Way Abung dan Way Rarem. Unyi (Minak Ratu di Bumi) membuat pertahanan disepanjang Way Seputih. Nuban (wanita) dengan suaminya membuat pertahanan disepanjang Way Batanghari dan Subing membuat pertahanan disepanjang Way Terusan. Menurut cerita turun temurun yang di dengar, Subing berhasil menebus kehormatan ayahnya Minak Paduka Bededuh yang telah wafat dengan membunuh kepala perompak bernama Raja di Laut.
Agama Islam diperkirakan masuk ke daerah Lampung sekitar abad ke 15 masehi melalui tiga arah angin. Pertama, dari barat (Minangkabau), memasuki daratan tinggi Belalau. Kedua, dari daerah utara (Palembang), memasuki daerah Komering pada permulaan abad ke 15 atau setidak-tidaknya di masa Adipati Arya Damar (1443) di Palembang. Ketiga, dari Banten oleh Fatahillah Sunan Gunung Jati, memasuki daerah Labuhan Meringgai sekarang, yaitu di Kerajaan Pugung sekitar tahun 1525 sebelum direbutnya Sunda Kelapa (1526). Dari perkawinan Fatahillah dengan Putri Sinar Alam anak Ratu Pugung, lahirlah Minak Kejala Ratu yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih yang menurunkan Raden Intan.
Setelah Nunyai wafat, terjadilah perselisihan pendapat antara anak cucu Minak Paduka Bededuh. Selisih paham berlangsung pelik, sehingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti kekuasaan Banten. Kenyataan ini dapat dihubungkan dengan peperangan antara Banten dan Palembang yang terjadi tahun 1596, dimana Maulana Muhammad dari Banten gugur dalam peperangan tersebut.
Yang berangkat seba ke Banten dari masyarakat Abung adalah Minak Semelesem, cucu dari Unyi (Minak ratu dibumi). Ketika seba, dia memang sudah tua, oleh karenanya pendirian Pepadun baru dilaksanakan oleh putranya, Minak Paduka, bertempat dihilir Way Kunang, yaitu di Bujang Penagan. Menurut perkiraan, adat Pepadun Abung ini dibentuk sekitar abad ke 17 masehi, setidak-tidaknya sebelum berlangsungnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Dibentuknya adat pepadun itu berarti melaksanakan penerimaan ajaran Islam di dalam masyarakat dan meninggalkan adat istiadat lama yang serba bersifat Hindu-Animisme.
Karena kelemahan pemerintahan Banten semenjak masa kekuasaan Sultan Haji (1672-1687), dimana VOC diizinkan untuk membeli lada langsung dari para penyimbang kepala-kepala marga Lampung serta sifat da’wah Islam yang berjalan lemah di daerah pedalaman, maka dalam pelaksanaan adat Pepadun sejak abad ke 18 dan seterusnya masih banyak dipertahankan tata cara dari zaman leluhurnya. Orang-orang VOC tidak mempunyai perhatian terhadap masyarakat dan adat istiadat penduduk, sebab yang penting bagi mereka hanyalah bagaimana mendapatkan hasil-hasil lada rakyat.
Demikianlah kisah sejumlah kebuaian yang ada di Lampung Tengah. Nunyai, Unyi, Nuban dan Subing adalah anak dari Minak Paduka Bededuh yang sekarang disebut-sebut juga sebagai cukal bakal keturunan penduduk asli di Lampung Tengah.
Mengenai Kabupaten Lampung Tengah, bila di runut dari sejarah memiliki perjalanan yang cukup panjang. Kenyataan itu berkaitan dengan Provinsi Lampung secara umum. Pada tanggal 21 Juni 1857 pemerintah Hindia Belanda menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada susunan pemerintahan setempat, dengan ditandai diakuinya sistem kemasyarakatan marga dibawah pimpinan penyimbang-penyimbang masing-masing tempat. Hingga sampai dengan tahun 1917 keresidenan Lampung di bagi oleh Pemerintahan Hindia Belanda dalam 2 (dua) Afdeling. Kedua Afdeling itu masing-masing: (1) Afdeling Teluk Betung, terdiri dari: Onder Afdeling Teluk Betung, Onder Afdeling Semangka, Onder Afdeling Katimbang. (2) Afdeling Seputih Tulang Bawang, terdiri dari: Onder Afdeling Tulang Bawang, Onder Afdeling Seputih dan Onder Afdeling Sekampung.
Pada tahun 1927 berdasarkan Bestuurshervormingswet 1922 (ind. Stb. 1922 no. 216) maka lahirlah “Marga Reglement Voor de Lampongsche Districten” yang mana Bestuursshervormingswet itu dimaksudkan untuk mengatur sistem pemerintahan marga teritorial yang telah ditetapkan dengan memperhatikan unsur-unsur genealogisch traditioneel. Antara tahun 1938-1939 ditetapkanlah Peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten (IGOBG) (stb. 1938 no. 490). Untuk melaksanakan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten ini dengan besluit Resident Lampong maka pada tanggal 21 Juli 1939 no. 536 ditetapkan Marga Reglement.
Semasa penjajahan kolonial Belanda, wilayah Kabupaten Lampung Tengah sekarang merupakan bagian dari Onder Afdeling Sukadana, Keresidenan Lampung (Residentie Lampongshe Districten). Pemerintahan Onder Afdeling ini dikepalai oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, Controleur tersebut di bantu oleh seorang Demang bangsa pribumi yang melaksanakan kepemerintahan bertugas dikedemangan.
Onder Afdeling Sukadana terbagi atas 3 (tiga) distrik, yaitu:
1. Onder Distrik Sukadana
2. Onder Distrik Labuhan Maringgai
3. Onder Distrik Gunung Sugih
Masing-masing onder distrik dalam menyelenggarakan pemerintahan dikepalai oleh seorang asisten demang (demang assistant) yang didalam pemerintahan bertugas sebagai pembantu demang untuk mengkoordinir pesirah. Pesirah adalah kepala pemerintahan marga yang mengepalai sejumlah kampung/desa/dusun yang ada didalam marga bersangkutan. Kepala marga ini diangkat dari seorang pribumi dengan membawahi kampung-kampung dikemargaannya.
Pemerintahan marga pada waktu itu bukan hanya diterapkan di Lampung saja, tapi juga di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, yang berdiri tahun 1572 dengan rajanya yang pertama bernama Ki Gede Ing Sura dan mulai surut karena dihapus kolonial Belanda tahun 1825 dengan rajanya yang terakhir bernama Sultan Mahmud Badarudin juga menerapkan pemerintahan marga. Hanya saja di sini untuk penamaan kampung dinamakan dusun. Kepala marga bergelar depati/pesirah, kepala dusun bergelar keria dan kepala kampung bergelar penggawa (bahasa daerah: penggawo). Banyaknya jumlah penggawa tergantung dari jumlah kampung yang ada didalam sebuah marga.
Onder Afdeling Sukadana yang merupakan bagian dari Keresidenan Lampung, di Provinsi Sumatera Bagian Selatan kala itu terbagi ke dalam 3 (tiga) onder district. Ketiga onder district tersebut dikepalai asisten demang. Diketahui, Onder Distrik Sukadana, Onder Distrik Labuhan Maringgai dan Onder Distrik Gunung Sugih masing-masing memiliki marga.
1. Onder Distrik Sukadana, terdiri dari:
1.1. Marga Sukadana
1.2. Marga Tiga
1.3. Marga Nuban
1.4. Marga Unyai Way Seputih
2. Onder Distrik Labuhan Maringgai, terdiri dari:
2.1. Marga Melinting
2.2. Marga Sekampung Ilir
2.3. Marga Sekampung Udik
2.4. Marga Subing Labuhan
3. Onder Distrik Gunung Sugih, terdiri dari:
3.1. Marga Unyi
3.2. Marga Subing
3.3. Marga Anak Tuha
3.4. Marga Pubian
Langganan:
Postingan (Atom)